Jumat, 05 Agustus 2011

Mengapa Perlu Ketahanan Hayati?

Posted by guru kecil ... on 22.07 0 komentar


Bagi negara maju seperti Australia, ketahanan hayati menjadi penting karena ekspor produk hayatinya memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian negara (menurut CRC NPB bernilai total pada tingkat usahatani sebesar A $ 18 milyar dan memberikan kontribusi sebesar A $ 12 milyar terhadap pendapatan ekspor). Oleh karena itu, kerusakan yang disebabkan oleh hama penyakit dapat menimbulkan kerugian ekonomis yang sangat besar. Selain itu, biaya yang diperlukan untuk melakukan pengendalian dan eradikasi juga besar. Sebagai contoh, menurut CRC NPB biaya eradikasi lalat buah di Australia Utara pada tahun 1990-an mencapai A $ 134 juta. Lalu bagaimana dengan negara berkembang seperti halnya Indonesia yang lebih banyak mengimpor daripada mengekspor produk hayati? Lihat saja di pasar swalayan, mana yang lebih mudah ditemukan produk lokal atau produk impor? Bahkan pasar tradisional sekalipun kini mulai pula dibanjiri dengan produk buah impor.

Pada era globalisasi dan pasar bebas saat ini, ketahanan hayati sesungguhnya tidak hanya penting bagi negara-negara maju tetapi juga bagi negara-negara sedang berkembang. Globalisasi membuat jarak antar negara menjadi jauh lebih dekat daripada jarak sebenarnya, padahal jarak merupakan alat penting pertahanan hayati. Dengan jarak yang lebih dekat maka lalu lintas orang dan barang menjadi lebih ramai. Lalu lintas merupakan kendaraan masuk dan keluar bagi agen berbahaya ketahanan hayati, entah itu berupa serangga, patogen, maupun biji gulma. Produk hayati impor yang membanjiri pasar-pasar Indonesia bukan tidak mungkin tidak membawa serta serangga, patogen, maupun biji gulma sebagai penumpang gelap entah dari negara mana.

Untuk meningkatkan devisa, Indonesia perlu meningkatkan ekspor produk-produk hayatinya, entah itu buah-buahan, ikan, hasil ternak, dsb. Untuk dapat memasuki pasar negara-negara maju, produk hayati tersebut harus dapat memenuhi persyarakat ketahanan hayati yang ketat di negara tujuan. Bukan tidak pernah terjadi bahwa produk hayati Indonesia pernah ditolak di sejumlah negara karena tidak dapat memenuhi persyaratan ketahanan hayati. Untuk dapat memenuhi persyaratan tersebut, tidak cukup jika hanya mengandalkan karantina. Hal ini karena persyarakat ketahanan hayati seringkali mencakup proses produksi, bukan sekedar mempunyai sertifikat bebas hama atau penyakit yang diberikan oleh karantina.

Lebih daripada itu semua, Indonesia merupakan negara yang luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar. Indonesia terdiri atas 17.504 pulau dan mempunyai jumlah penduduk 227 juta jiwa (218,868,791 jiwa menurut data BPS tahun 2005). Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga mempunyai garis pantai yang panjang (95.181 km atau terpanjang keempat di dunia setelah Rusia, AS, dan Kanada). Jumlah pulau yang banyak dengan ukuran yang beragam memungkinkan terdapat berbagai tipe ekosistem yang dapat menjadi habitat yang sesuai bagi berbagai serangga dan mikroba yang merugikan. Kenyataan ini menimbulkan sejumlah konsekuensi:
·          Untuk menjaga wilayah yang sangat luas tersebut, Badan Karantina Pertanian memerlukan jumlah unit pelaksana teknis (balai besar, balai, dan stasiun) dan personel karantina yang sangat banyak dan tersebar di semua pulau. Kenyataannya saat ini unit pelaksana teknis karantina hanya terdapat di kota-kota yang mempunyai pelabuhan laut dan bandar udara yang cukup besar. Seluruh wilayah Indonesia memang telah dibagi menjadi sejumlah area karantina, tetapi apakah ini sudah memadai mengingat pulau-pulau kecil di dalam suatu area karantina sudah barang tentu tidak mempunyai petugas karantina? Bagaimana pula dengan penyebaran hama dan patogen antar pulau di dalam suatu area karantina, apakah hal ini dapat diabaikan saja? Lalu bagaimana dengan kewenangan lintas sektor, sejauh mana kewenangan Balai Karantina Pertanian pada sektor-sektor kehutanan, kesehatan, lingkungan hidup, dsb.?
·          Jumlah penduduk yang besar memerlukan bahan pangan yang tentu saja juga dalam jumlah besar. Jumlah bahan pangan tersebut tentu saja sebagian harus diproduksi sendiri dan sebagian harus diimpor. 


0 Responses so far:

Leave a Reply